Sejarah Minahasa
Dirangkum Oleh : David DS Lumoindong
Sejarah Minahasa saya kumpulkan dari berbagai sumber juga merupakan hasil penelitian dan pengumpulan data yang dilakukan oleh Paulus Lumoindong (alm) ayahku yang telah melakukan penelitian sejak tahun 1970 yang telah memberi inspirasi dan mengajarku untuk peduli mengangkat sejarah daerah Minahasa dan Sulawesi Utara serta daerah lainnya untuk diketahui oleh anak daerahnya. Roderick C. Wahr, membagi sejarah Minahasa menurut garis waktu.
(4 juta tahun SM)
Tiupan Benua
Indonesia sudah ada sejak masa Pleistocene ketika dihubungkan dengan daratan Asia sekarang.
500.000 SM
Manusia Java (Homo Erectus) ditemukan di Jawa Timur.
Penduduk kepulauan Indonesia sebelumnya berasal dari India atau Burma.
3000 SM
Migrant (orang Malayu) datang dari Cina Selatan dan Indocina, dan mereka mulai mendiami kepulauan.
Toar Lumimu'ut
Versi yang lain mengatakan Lumimuut adalah turunan ke 16 dari Masinambow (versi Tondano), atau turunan ke 17 Raja Wuing-wuing (versi Bantik).
Lesung batu
Ada pula lesung batu dari Minahasa yang berbentuk semacam itu, namun berukuran lebih tinggi dan ramping, sehingga lebih menyerupai tifa (gendang dari Indonesia bagian timur). Lesung batu yang lain ialah yang berbentuk bundar seperti bola dengan lubang di bagian atasnya. Lesung yang berbentuk semacam ini biasanya berukuran lebih kecil dari pada lesungberbentuk dandang atau tifa. Selain itu, ada pula lesung yang berbentuk silinder yang berukuran seperti lesung berbentuk dandang. Secara keseluruhan lesung batu yang ditemukan di Minahasa berjumlah 32 buah.
670
Batu di
Watu Pinawetengan
Sulawesi Utara tidak pernah membangun kekaisaran besar.
Di Sulawesi Utara pemimpin-pemimpin dari suku-suku yang berbeda, yang sama sekali bebicara bahasa yang berbeda, bertemu di batu yang dikenal sebagai Watu Pinawetengan. Disana mereka mendirikan perhimpunan negara yang merdeka, yang akan membentuk satu kesatuan dan tinggal bersama dan akan memerangi musuh manapun dari luar jika mereka diserang.
Minahasa masa Pinawetengan Musyawarah Tona'as Dan Walian Abad Ke-7
Pemimpin Minahasa jaman tempo dulu terdiri dari dua golongan yakni Walian dan Tona’as. Walian mempunyai asal kata “Wali” yang artinya mengantar jalan bersama dan memberi perlindungan. Golongan ini mengatur upacara agama asli Minahasa hingga disebut golongan Pendeta. Mereka ahli membaca tanta-tanda alam dan benda langit, menghitung posisi bulan dan matahari dengan patokan gunung, mengamati munculnya bintang-bintang tertentu seperti “Kateluan” (bintang tiga), “Tetepi” (Meteor) dan sebagainya untuk menentukan musim menanam. Menghafal urutan silsilah sampai puluhan generasi lalu, menghafal ceritera-ceritera dari leluhur-leluhur Minahasa yang terkenal dimasa lalu. Ahli kerajinan membuat pelaratan rumah tangga seperti menenun kain, mengayam tikar, keranjang, sendok kayu, gayung air.
Golongan kedua adalah golongan Tona’as yang mempunyai kata asal “Ta’as”. Kata ini diambil dari nama pohon kayu yang besar dan tumbuh lurus keatas dimana segala sesuatu yang berhubungan dengan kayu-kayuan seperti hutan, rumah, senjata tombak, pedang dan panah, perahu. Selain itu golongan Tona’as ini juga menentukan di wilayah mana rumah-rumah itu dibangun untuk membentuk sebuah Wanua (Negeri) dan mereka juga yang menjaga keamanan negeri maupun urusan berperang.
Sebelum abad ke-7, masyarakat Minahasa berbentuk Matriargat (hukum ke-ibuan). Bentuk ini digambarkan bahwa golongan Walian wanita yang berkuasa untuk menjalankan pemerintahan “Makarua Siouw” (9x2) sama dengan Dewan 18 orang leluhur dari tiga Pakasa’an (Kesatuan Walak-Walak Purba).
Enam leluhur dari Tongkimbut (Tontemboan sekarang) adalah Ramubene, suaminya Mandei, Riwuatan Tinontong (penenun), suaminya Makaliwe berdiam di wilayah yang sekarang Mongondouw, Pinu’puran, suaminya Mangalu’un (Kalu’un sama dengan sembilan gadis penari), Rukul suaminya bernama Suawa berdiam di wilayah yang sekarang Gorontalo, Lawi Wene suaminya Manambe’an (dewa angin barat) Sambe’ang artinya larangan (posan). Maka Roya (penyanyi Mareindeng) suaminya bernama Manawa’ang.
Sedangkan enam leluhur yang berasal dari Tombulu adalah : Katiwi dengan suaminya Rumengan (gunung Mahawu), Katiambilingan dengan suaminya Pinontoan (Gunung Lokon), Winene’an dengan suaminya Manarangsang (Gunung Wawo), Taretinimbang dengan suaminya Makawalang (gunung Masarang), Wowriei dengan suaminya Tingkulengdengan (dewa pembuat rumah, dewa musik kolintang kayu) Pahizangen dengan suaminya Kumiwel ahli penyakit dari Sarangsong.
Sementara itu enam leluhur yang berasal dari Tontewo (wilayah timur Minahasa) terdiri dari Mangatupat dengan suaminya Manalea (dewa angin timur), Poriwuan bersuami Soputan (gunung Soputan), Mongindouan dengan suaminya Winawatan di wilayah Paniki, InawatanManambeka (sambeka sama dengan kayu bakar di pantai) dewa angin utara, istrinya tidak diketahui namanya kemudian istri Lolombulan. Pemimpin panglima perang pada jaman pemerintahan golongan Walian adalah anak lelaki Katiwei (istri Rumengan) bernama Totokai yang menikah dengan Warangkiran puteri dari Ambilingan (istri Pinontoan). dengan suaminya Kuambong (dewa anwan rendah atau kabut),
Pada abad ke-7 telah terjadi perubahan pemerintahan. Pada waktu itu di Minahasa – yang sebelumnya dipegang golongan Walian wanita - beralih ke pemerintahan golongan Tona’as Pria. Mulai dari sini masyarakat Matriargat Minahasa yang tadinya menurut hukum ke-Ibuan berubah menjadi masyarakat Patriargat (hukum ke-Bapaan)., Menjalankan pemerintahan “Makatelu pitu (3x7=21)" atau Dewan 21 orang leluhur pria.
Wakil-wakil dari tiga Pakasa’an Toungkimbut, Toumbulu, Tountowo, mereka adalah ; Kumokomba yang dilantik menjadi Muntu-Untu sebagai pemimpin oleh ketua dewan tua-tua “Potuosan” bernama Kopero dari Tumaratas. Mainalo dari Tounsea sebagai wakil, Siouw Kurur asal Pinaras sebagai penghubung dibantu Rumimbu’uk (Kema) dan Tumewang (Tondano) Marinoya kepala Walian, Mio-Ioh kepala pengadilan dibantu Tamatular (Tomohon) dan Tumilaar (Tounsea), Mamarimbing ahli meramal mendengar bunyi burung, Rumoyong Porong panglima angkatan laut di pulau Lembe, Pangerapan di Pulisan pelayaran perahu, Ponto Mandolang di Pulisan pengurus pelabuhan-pelabuhan, Sumendap di Pulisan pelayaran perahu, Roring Sepang di awaon Tompaso, pengurus upacara-upacara di batu Pinawetengan, Makara’u (Pinamorongan), Pana’aranTalumangkun (Kalabat), Makarawung (Amurang), REPI (Lahendong), Pangembatan (Lahendong). (Tanawangko),
Dalam buku “Toumbulusche Pantheon” tulisan J.G.F. Riedel tahun 1894 telah dikemukakan tentang sistem dewa-dewa Toumbulu yang ternyata mempunya sistem pemerintahan dewa-dewa seluruh Minahasa dengan jabatan yang ditangani leluhur tersebut. Pemerintahan golongan Tona’as abad ke-tujuh sudah punya satu pimpinan dengan gelar Muntu-Untu yang dijabat secara bergantian oleh ketiga sub-etnis utama Minahasa. Misalnya leluhur Ponto Mandolang mengatur pelabuhan Amurang, Wenang (Manado) Kema dan Bentenan dengan berkedudukan di Tanjung Pulisan. Tiap sub-etnis Minahasa mempunya panglima perangnya sendiri-sendiri tapi panglima perang tertinggi adalah raja karena dilantik dan dapat diganti oleh dewan tua-tua yang disebut “Potuosan”.
Dari nama-nama leluhur wanita Minahasa abad ke-7 seperti Riwuatan asal kata Riwu atau Hiwu artinya alat menenun, Poriwuan asal kata Riwu alat menenun, Raumbene asal kata Wene’ artinya padi, menunjukkan Minahasa abad ke-7 telah mengenal padi dan membuat kain tenun.
900
Keberadaan peradaban kuno di Sulawesi Utara bisa jadi berasal dari adanya batu pertama sarcophagi yang disebut Waruga.
1200
Pedagang Muslim dari Gujarat dan Persia mulai mengunjungi Indonesia dan mendirikan hubungan perdagangan antara negara ini dan India dan Persia.
Sepanjang perdagangan, mereka menyebarkan agama Islam diantara orang Indonesia, terutama sepanjang daerah pantai Jawa, seperti Demak.
1292
Kaisar Cina memberangkatkan banyak espedisi barang rongsokan ke Malaka, Jawa dan Maluku pada tahun 1292 - 1293. Ekspedisi Cina tersebut dilakukan untuk berperang atau untuk maksud berdagang. Ketika berdagang, kapal layar barang rongsokan ini membawa porselen keramik ke Minahasa. Mereka membawa keramik-keramik tersebut untuk ditukarkan dengan beras.
1293
Waruga
Permulaan Kerajaan Majapahit.
1335
Sekarang pemimpin-pemimpin penting dari suku Minahasa dikubur di sarcophagi, nisan yang berdiri, yang dinamakan Waruga.
1380
Jalur perdagangan Cina diikuti oleh pedagang-pedagand dari Arab. Salah seorang pedagang dari Arab, Sharif Makdon, pada tahun 1380, melakukan perdagangan dari Ternate, Wenang (sekarang Manado) dan lalu ke Philipina Selatan. Selain berdagang, pedagang-pedagang dari Arab ini melakukan penyebaran agama Islam di antara suku Manarouw Mangindanouw.
Walian Abad Ke-15
Perdagangan rempah-rempah di Ternate-Tidore oleh pedagang–pedagang berbagai bangsa megakibatkan pelabuhan-pelabuhan di Minahasa menjadi ramai. Bahkan Kaisar Cina-pun, mengirimkan banyak ekspedisi kapal layar Jung ke Malaka, Jawa dan Maluku pada tahun 1292 – 1293. Ekspedisi Cina tersebut dilakukan utuk berperang atau untuk berdagang. Ketika melakukan perdagangan, kapal-kapal layar jung inilah yang membawa keramik porselin ke daerah minahasa. Mereka membawa keramik tersebut untuk ditukarkan dengan beras. Beras yang diperoleh dari Minahasa kemudian dibawa ke Ternate untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Hal itu dilakukan karena raja-raja di Ternate gemar makan nasi, sementara di Ternate sendiri tidak mepunyai tanaman padi. Jalur perdagangan cina ini kemudian diikuti oleh pedagang dari Arab. Salah seorang pedagang asal Arab, Sharif Makdon, pada tahun 1380 melakukan perdagangan dari Ternate, Wenang lalu ke Philippina Selatan. Selain melakukan perdagangan pedagang dari Arab ini melakukan penyebaran agama Islam pada suku Manarouw Mangindanouw. Kemudian jalur ini diikuti para pelaut asal Portugis diantaranya Pedro Alfonso.
Pada tahun 1511, Pedro Alfonso menemukan Ternate, setelah itu armada dagang asal Portugis secara resmi mengirimkan Antonio de Abreu ke Maluku tahun 1512. Pada tahun itu juga Portugis mengirimkan tiga kapal layar ke Manarow (Pulau Manado Tua). Dari pulau tersebut, pedagang asal Portugis melakukan pelayaran dengan menggunakan perahu ke Wenang untuk berunding dengan kepala Walak Ruru Ares. Maksud kedatangan Portugis ke Wenang adalah untuk menyewa sebidang tanah. Tapi keinginan Portugis untuk menyewa tanah di Wenang pupus karena Walak Ruru Ares menolak untuk memberikan tempat bagi mereka. Setelah gagal di Wenang, Protugis kemudian melakukan perjalanan ke Uwuran (Amurang) dan kemudian mendirikan benteng Amurang pada tahun 1512. Ketika tiba didaerah Minahasa (Amurang), Portugis yang saat itu membawa pedagang dan rohaniwan lebih banyak daripada serdadu, belum berani masuk hingga pedalaman. Mereka hanya mampu mendirikan benteng-benteng batu di tepi pantai dan pulau di sekitar Minahasa seperti di Siauw tahun 1518. Walaupun para wanita yang mendiami daerah di tepi pantai sudah banyak yang bersuamikan orang Portugis, tapi masyarakat di daerah pegunungan baru menikah dengan orang-orang kulit putih asal Spanyol pada tahun 1523. Salah satu contoh adalah salah seorang wanita asal Kakaskasen Tomohon bernama Lingkan Wene yang menikah dengan Kapiten spanyol bernama Juan de Avedo. Anak lelaki dari pasangan suami istri ini kemudian diberi nama Mainalo Wula’an karena mempunyai mata bulat bening (Indo Spayol). Perkawinan wanita Minahasa dan pria asal Spanyol ini ternyata tidak disukai Portugis, karena Portugis berasumsi bahwa Spanyol akan menguasai daerah Minahasa. Apalagi ketika itu Spanyol telah mendirikan benteng di Wenang dengan cara menipu Kepala Walak Lolong Lasut menggunakan kulit sapi dari Benggala India yang dibawa Portugis ke Minahasa. Tanah seluas kulit sapi yang dimaksud spanyol adalah tanah seluas tali yang dibuat dari kulit sapi itu. Spanyol kemudian menggunakan orang Mongondouw untuk menduduki benteng Portugis di Amurang pada tahun 1550-an sehinggga akhirnya Spanyol dapat menduduki Minahasa.
Anak Lingkan Wene yang bernama Mainalo Wula’an kemudian dinikahkan dengan gadis asal Tanawangko. Hasil perkawinan mereka membuahkan anak laki-laki yang kemudian dinamakan Mainalo Sarani. Kelak menanjak dewasa, Mainalo Sarani diberi gelar Muntu-UntuLingkan Wene. Pada tahun 1630, Muntu-Untu dan Lingkan Wene dibabtis menjadi Kristen oleh Missionaris asal Spanyol dari segi Ordo Fransiscan. Kemudianmereka memperoleh status sebagai Raja Manado. sementara istrinya di beri gelar
Bila peran para Walian di Minahasa sebelum abad 15 hanya diketahui dari legenda dan adat kebiasaan, maka pada abad 16 fungsi mereka dapat ditemukan dari surat-surat para Missionaris Portugis dan Spanyol. Seperti dalam surat Pater Blas Palomino tanggal 8 Juni 1619. Sebelum dia terbunuh di Minahasa pada tahun 1622, dia menulis mengenai sikap permusuhan para Walian pemimpin agama suku terhadap para Missionaris asal Spanyol. Dia juga menulis tentang perbuatan Walian Kali yang menghasut kepala Negeri Kali bernama Wongkar untuk menolak dan melarang para Missionaris Spanyol untuk masuk ke pedalaman Minahasa. Dua puluh lima tahun kemudian, surat Pater Juan Yranzo yag ditulis di Manila tahun 1645 menyebutkan tentang pengusiran Spanyol dari tanah Minahasa pada tanggal 10 Agustus 1644. Pengusiran tersebut mengakibatkan terbunuhnya Pater Lorenzo Garalda. Pada hari pertama, 10.000 serdadu Minahasa menangkap 22 orang Spanyol dan membunuh 19 orang. Para Walian Minahasa menghasut masyarakat untuk membunuh semua Missionaris Spanyol. Sayangnya nama-nama Walian Minahasa tersebut tidak disebutkan karena rencana mereka bocor hingga para Missionaris Spanyol sempat mengungsi ke tepi pantai dan berperahu ke Siauw. Dari surat – surat para Missionaris Spanyol jelas terlihat peran Walian golongan agama suku yag jadi motor penggerak peparangan tahun 1644. Tapi dengan terbunuhnya Missionaris Spanyol justru menjadi pupuk penyubur perkembangan Agama Katolik di Minahasa.
Bermulanya Minahasa dikenal di Peta Dunia
Simon Kos, seorang Belanda, pejabat VOC di Ternate pada tahun 1630 memasuki tanah Minahasa dibawah pengaruh Spanyol. Kos melaporkan hasil perjalanannya kepada Batavia yang waktu itu menjadi pusat pemerintahan dibawah kekuasaan persekutuan dagang, ‘Verenigde Oost-Indiesche Compagnie.” Kos melaporkan bahwa Sulawesi Utara cukup potensial, baik lahan maupun posisi letaknya strategis sebagai jalur lintas rempah-rempah dari perairan Maluku menuju Asia-Timur. Lagi pula jalur lintas niaga laut lebih tenang bagi pelayaran kapal-kapal kayu dibanding melalui Laut Cina Selatan. Kos melaporkan bahwa kehadiran Spanyol di Laut Sulawesi hingga perairan Maluku Utara merupakan ancaman bagi kepentingan niaga VOC bila ingin menguasai gudang rempah-rempah kepulauan Maluku.
Laporan Simon Kos mendapat perhatian dari Jan Pieter Zoon Coen, Gubernur-Jendral VOC di Batavia yang ingin mengusir Spanyol dari kepulauan Maluku Utara guna melakukan monopoli. Usaha perluasan pengaruh di Laut Sulawesi memperoleh peluang bagi VOC terjadi disaat penduduk Minahasa berjuang menghadapi kolonialisme Spanyol. Minahasa mengalami rawan sosial, dan wanita setempat menjadi korban pemerkosaan dari para musafir Spanyol.
Masa itu VOC memperoleh dukungan dari pemerintahannya yang dilanda trauma kolonialisme Spanyol di Eropa Utara, termasuk Belanda. Invasi itu menyebabkan Belanda perang kemerdekaan di pertengahan abad ke-16 yang mashur dengan sebutan Perang 80 tahun. Spanyol kalah, dan kekalahannya berlanjut hingga Asia-Timur dan Asia-Tenggara serta kawasan Pasifik Barat-Daya. Selain dengan Spanyol, Belanda juga memusuhi Portugis yang juga menjadi saingannya dalam usaha perluasan koloni. Yang terakhir ini juga berlomba adu pengaruh dengan Spanyol memperebutkan gudang produksi rempah-rempah di Maluku sebelum pembentukan pemerintahan gabungan Portugis-Spanyol pada 1580.
Menado Dalam Peta Dunia
Pengenalan tanah Minahasa oleh bangsa-bangsa Barat diawali dengan kedatangan musafir Spanyol pada 1532. Bermula sejak bandar Malaka didatangi kapal-kapal Portugis pimpinan D'Abulquergue pada 1511 membuka jalur laut menuju gugusan kepulauan Maluku. Jalur ini kemudian baru dimapankan pada 1521. Sebelumnya kapal-kapal Spanyol pimpinan Ferdinand Magelhaens merintis pelayaran dalam usaha tujuan serupa yang dilakukan Portugis. Bedanya jalur ini dilakukan dari ujung benua Amerika-Selatan melintasi samudera Pasifik dan mendarat di kepulauan Sangir Talaud di laut Sulawesi.
Sebelum menguasai kepulauan Filipina pada 1543, Spanyol menjadikan pulau Manado Tua sebagai tempat persinggahan untuk memperoleh air tawar. Dari pulau tersebut kapal-kapal Spanyol memasuki daratan Sulawesi-Utara melalui sungai Tondano.
Hubungan musafir Spanyol dengan penduduk pedalaman terjalin melalui barter ekonomi bermula di Uwuran (sekarang kota Amurang) ditepi sungai Rano I Apo. Perdagangan barter berupa beras, damar, madu dan hasil hutan lainnya dengan ikan dan garam.
Gudang Kofi
Minahasa menjadi penting bagi Spanyol, karena kesuburan tanahnya dan digunakan Spanyol untuk penanaman kofi yang berasal dari Amerika-Selatan untuk dipasarkan ke daratan Cina. Untuk itu di-bangun Manado sebagai menjadi pusat niaga bagi pedagang Cina yang memasarkan kofi kedaratan Cina. Nama Manado dicantumkan dalam peta dunia oleh ahli peta dunia, Nicolas_Desliens‚ pada 1541. Manado juga menjadi daya tarik masyarakat Cina oleh kofi sebagai komoditi ekspor masyarakat pedalaman Minahasa. Para pedagang Cina merintis pengembangan gudang kofi (kini seputar Pasar 45) yang kemudian menjadi daerah pecinan dan pemukiman. Para pendatang dari daratan Cina berbaur dan berasimilasi dengan masyarakat pedalaman hingga terbentuk masyarakat pluralistik di Minahasa bersama turunan Spanyol, Portugis dan Belanda.
Kemunculan nama Manado di Sulawesi Utara dengan berbagai kegiatan niaga yang dilakukan Spanyol menjadi daya tarik Portugis sejak memapankan posisinya di Ternate. Untuk itu Portugis melakukan pendekatan mengirim misi Katholik ke tanah Minahasa pada 1563 dan mengembangkan agama dan pendidikan Katholik.
Lomba Adu Pengaruh di Laut Sulawesi
Sebenarnya kedatangan Portugis ke Minahasa adalah kehendak kesultanan Ternate yang waktu itu berada dibawah kepemimpinan Sultan Hairun yang mengklaim bahwa Sulawesi-Utara sebagai fazal ekonomi kesultanan yang diganggu Spanyol. Sultan Hairun juga menggunakan kekuatan Portugis untuk "menjinakkan" masyarakat "Alifuru" yang tidak ingin tunduk kepada kepemimpinan kesultanan Ternate.
Kedatangan para musafir Portugis diterima dengan tangan terbuka oleh penduduk setempat, tetapi tidak disenangi Spanyol, karena menjadi saingan. Dilain pihak penduduk setempat tidak menyenangi Spanyol karena sering membuat onar, apalagi merusak sentra-sentra budaya masyarakat pedalaman. Persaingan Spanyol dengan Portugis memuncak hingga Minahasa menjadi ajang konflik. Pertikaian berakhir dan Spanyol memperoleh konsesi di Sulawesi Utara ketika Spanyol dan Portugis menjadi kesatuan dibawah kepemimpinan raja Spanyol pada 1580.
Penetrasi Budaya dan Agama
Minahasa yang semula merupakan tempat persinggahan, oleh Spanyol menjadi pangkalan penting guna menguasai Filipina dan dipusatkan di Manado dan Amurang. Juga dijadikan sebagai pusat logistik bahan-bahan pangan guna menunjang personal mereka di kepulauan Cebu (Filipina) dan Maluku. Hal ini terjadi setelah gudang produksi beras daerah Kali ditepi Danau Tonsawang milik masyarakat "Alifuru" dikuasai Spanyol. Sedangkan gudang beras di Tondano diperolehnya dengan jalan damai. Sebab para walak yang memimpin Tondano dikenal sangat ketat dan memberi perlawanan sengit terhadap penetrasi luar yang merugikan wilayahnya.
Spanyol tidak ingin mengambil risiko untuk berkonfrontasi dengan Tondano agar tidak membahayakan eksistensinya di Laut Sulawesi guna merebut Filipina dibawah kekuasaannya. Untuk itu Spanyol melakukan pendekatan atas dasar persamaan hak dengan para pemuka masyarakat penghuni sekitar tepi danau Tondano.
Persaingan Adi-Kuasa Eropa dikawasan Laut Sulawesi hingga perairan Laut Maluku Utara untuk menguasai kepulauan Maluku penghasil rempah-rempah mulai berkembang sejak awal abad ke-17. Persaingan itu telah mengganggu ketenteraman masyarakat Sulawesi-Utara dari lomba pengaruh yang bermula antara Spanyol dengan Portugis. Posisi Minahasa menonjol sebagai kantong ekonomi terutama sebagai produsen beras oleh berbagai kerajaan diseputar Laut Sulawesi dan Laut Ternate.
Pedalaman Minahasa yang kaya sebagai lumbung beras yang dimiliki masyarakat "Alifuru" diseputar danau Tondano tidak tersentuh oleh penetrasi luar.
Spanyol dan Portugis secara bertahap memperluas pengaruh budaya Hispanik dan menyebarkan agama Katolik di pedalaman tanah Minahasa hingga memungkinkan baginya menguasai pedalaman Sulawesi-Utara.
Penetrasi diplomasi agama dan budaya hingga Spanyol berhasil membentuk dan menguasai jaringan niaga bagi penyaluran hasil produksi komoditi pedalaman Minahasa. Akibatnya tata-niaga penduduk setempat mengalami rasa ketergantungan dari Spanyol. Pendekatan diplomasi budaya dan agama yang berlanjut dengan menguasai tata-niaga perdagangan berkembang menjadi kolonialisme hingga Spanyol tidak disenangi penduduk setempat karena menimbulkan berbagai akibat buruk oleh dominasi ekonomi dan kehidupan sosial dan selama hampir satu abad.
Pertentangan Eropa Selatan- Eropa Utara di Laut Sulawesi
Keadaan berubah di abad ke-17 ketika Belanda dan Inggris mulai memperlihatkan supremasi di Asia-Tenggara dan perairan Maluku. Sejak itupun Sulawesi Utara menjadi penting bagi VOC yang berkedudukan di Batavia dan ingin memperluas pengaruh hingga Maluku Utara. Sebab kawasan ini sangat strategis untuk mengawasi Laut Sulawesi terhadap ancaman dari utara. Peranan kota Manado sejak pendudukan Spanyol mulai menonjol sebagai pusat logistik bahan pangan, terutama komoditi beras yang dihasilkan pedalaman Minahasa. Kapal-kapal VOC untuk pertama kali memasuki bandar Manado pada 1607 untuk membeli beras dan bahan pangan lainnya yang diperlukan sebagai bekal bagi perjalanan menuju daratan Cina. Namun tidak memperoleh hasil karena larangan Spanyol yang telah menguasai niaga Sulawesi-Utara.
Pada 1607 Gubernur Cornelis Mattelief dari Batavia mengutus Jan Lodewijk Rossingeyn menjalin hubungan niaga, namun ditolak oleh Spanyol. Usaha pendekatan dilanjutkan pada 1610 ketika pimpinan VOC di Batavia mengutus Kapten Verhoeff yang juga gagal. Verhoeff memberi laporan lengkap mengenai potensi yang dimiliki Minahasa hingga menarik minat Batavia untuk menguasai Sulawesi Utara bagi kepentingan keamanan VOC di Maluku.
Pihak VOC mulai melakukan konsolidasi kekuatan untuk merebut Laut Sulawesi dari Spanyol dipusatkan di Ambon. Pertempuran singkat Spanyol-Belanda berkecamuk pada bulan Agustus 1614 dikepulauan Siau dengan kemenangan Belanda. Setelah kekalahan di Siau, Spanyol memusatkan kekuatannya di Manado. Untuk menghadapi serbuan Belanda, dibangun membangun sebuah benteng dipesisir kota itu yang berhadapan dengan pulau Manado Tua.
Kekalahan di Siau menurunkan citra Spanyol di kalangan penduduk sekitar Laut Sulawesi hingga memperlemah posisinya di Maluku-Utara. Tetapi menguntungkan posisi VOC memperluas pengaruh di Maluku-Utara dengan Kesultanan Ternate. Kemenangan gemilang dimungkinkan karena VOC sebelumnya menjalin hubungan persahabatan dengan para pemuka kesultanan pada 1607 yang dendam terhadap Spanyol. Hal ini terjadi karena Spanyol menangkap Sultan Sahid Berkat dan diasingkan ke Manila. Pihak kesultanan Ternate mendekati Belanda sebagai pengimbang menghadapi kekuatan Spanyol. Jaminan keamanan dari VOC diperoleh Ternate ketika putera Sahid, Sultan Modafar diangkat menduduki singgasana kepemimpinan pada 1610 tanpa gangguan Spanyol.
Diplomasi Minahasa
Kehadiran Belanda dan Inggris sebagai Adi-Kuasa di perairan Maluku memberi angin bagi para walak tanah Minahasa untuk mengusir Spanyol dari Minahasa dengan melakukan pendekatan kepada pihak Belanda yang telah menguasai Ternate setelah berhasil menyingkirkan kekuatan Portugis diperairan Maluku. Pendekatan terjadi ketika tiga kepala walak masing-masing: Supit, Paat‚ dan Lontoh‚ melakukan misi diplomasi dan berhasil menemui perwakilan VOC di Ternate pada 1630. Sebelum memerangi Spanyol, pihak VOC mendekati Inggris untuk tidak mencampuri. Karena Inggris juga memiliki pengaruh dibeberapa kepulauan Maluku dan hubungan antara Belanda dengan Inggris cukup akrab karena sama-sama memusuhi Spanyol dan Portugis saling berlomba melakukan perluasan pengaruh di kawasan Asia-Pasifik.
Inggris sepakat membiarkan Belanda mengusir Spanyol dari Sulawesi-Utara terutama dari tanah Minahasa. Pada awal abad ke-17 Inggris dan Belanda saling bahu membahu melakukan pengembangan usaha menuju Asia-Tenggara sebagai hasil solidaritas mengusir penjajahan Spanyol dari Eropa Utara. Pengembangan East India Company yang didirikan oleh Inggris tidak beda dengan VOC. Perluasan persekutuan dagang Belanda dan Inggris sempat dihambat oleh Spanyol dan Portugis yang merupakan saingan. Namun kedua negeri Hispanik ini tidak berdaya membendung kekuatan armada laut asal Eropa-Utara ini, hingga kehilangan pengaruh di Maluku. Tetapi jalinan hubungan akrab Belanda-Inggris tidak abadi dan berakhir dengan konfrontasi akibat penyakit monopoli menguasai rempah-rempah. Persaingan serupa juga dialami antara Spanyol dengan Portugis hingga sejak abad ke-17 kawasan Asia-Tenggara menjadi lomba konflik para Adi-Kuasa asal Eropa.
Usaha para walak membawa hasil memupuskan kekuasaan Spanyol di tanah Minahasa. Spanyol kehilangan dominasi terhadap Laut Sulawesi antara penguasa Spanyol dengan Belanda di Eropa melalui Perjanjian Munster ‚ pada tahun 1648.
Sengketa Belanda-Spanyol di Minahasa
Pengaruh VOC di Sulawesi Utara tidak disenangi Spanyol. Sebab Spanyol telah menanamkan modal dengan pengembangan berbagai komoditi pertanian ekspor seperti kofi, pisang dan kopra di Sulawesi-Utara. Komoditi ini merupakan potensi niaga dengan Asia-Timur, terutama daratan Cina. Untuk itu dikirim Bartholomeus de Soisa dari Filipina mempertahankan posisi Sulawesi-Utara terutama tempat penghuni masyarakat Minahasa. Spanyol menduduki daerah Uwuran dan beberapa tempat dipesisir pantai pada 1651 dengan bantuan prajurit asal Makassar. Karena yang terakhir ini mengklaim Sulawesi-Utara sebagai bagian dari wilayah kesultanan Makassar. Pendudukan ini menimbulkan reaksi Belanda di Ternate. Dibawah pimpinan Simon Kos, pada akhir 1655 kekuatan Belanda mendarat di muara sungai dan langsung membangun benteng.
Pembangunan Benteng ‘De_Nederlandsche_Vastigheit‚’ dari kayu-kayu balok sempat menjadi sengketa sengit antara Spanyol dengan Belanda. Kos berhasil meyakinkan pemerintahannya di Batavia bahwa pembangunan benteng sangat penting untuk mempertahankan posisi Belanda di Laut Sulawesi. Dengan menguasai Laut Sulawesi akan mengamankan posisi Belanda di Maluku dari Spanyol.
Setelah memperoleh dukungan sepenuhnya dari Batavia, Kos berlayar menuju Manado disertai dua kapal perang Belanda, Molucco dan Diamant pada awal 1661 dari Ternate. Kekuatan ini mengalahkan Spanyol dan Makassar hingga di Manado hingga Amurang pada bulan Februari 1661. Belanda memapankan pengaruhnya di Sulawesi-Utara dan merubah benteng semula dengan bangunan permanen dari beton. Benteng ini memperoleh nama baru, ‘Ford Amsterdam‚’ dan diresmikan oleh Gubernur VOC dari Ternate, [1]Cornelis Francx‚ pada 14 Juli 1673 (Benteng terletak dikota Manado dibongkar oleh Walikota Manado pada 1949 - 1950). Sejak saat itu Spanyol memusatkan koloninya di Filipina sebagai basis kepentingan ekonomi di Asia-Timur. Kolonialisme Spanyol di Filipina berakhir dan diserahkan Amerika Serikat pada 1896 akibat kalah dalam perang AS-Spanyol pantai Barat Amerika-Utara.
Diplomasi para walak mendekati Belanda berhasil mengusir Spanyol dari Minahasa. Namun konsekwensi yang harus dialami adalah rintisan jalur niaga laut di Pasifik hasil rintisan Spanyol sejak abad ke-17 terhenti dan mempengaruhi perekonomian Sulawesi Utara. Sebab jalur niaga ini sangat bermanfaat bagi penyebaran komoditi eskpor ke Pasifik. Sejak itupun pelabuhan Manado menjadi sepi dan tidak berkembang yang turut mempengaruhi pengembangan kawasan Indonesia bagian Timur hingga Pasifik Barat Daya. Dilain pihak, pelabuhan Manado hanya menjadi persinggahan jalur niaga dari Selatan (berpusat di Surabaya, Tanjung Priok yang dibangun oleh Belanda sejak abad ke-XVIII) ke Asia-Timur melalui lintasan Selat Makassar. Itupun hanya digunakan musiman saat laut Cina Selatan tidak di landa gelombang ganas bagi kapal-kapal. Sedangkan semua jalur niaga Asia-Timur dipusatkan melalui Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Samudera Hindia, Tanjung Harapan Atlantik-Utara yang merupakan pusat perdagangan dunia.
Sebagai akibatnya kegiatan hubungan ekonomi diseputar Laut Sulawesi secara langsung dengan dunia luar praktis terlantar. Karena penyaluran semua komoditi diseluruh gugusan nusantara melulu diatur oleh Batavia yang mengendalikan semua jaringan tata-niaga dibawah kebijakan satu pintu. Penekanan ini membawa derita berkepanjangan bagi kegiatan usaha penduduk pedalaman Minahasa.
Pergeseran pengaruh kekuasaan dari Spanyol kepada Belanda telah merubah sistem tata-niaga dimana komoditi Sulawesi-Utara tidak dapat berhubungan langsung dengan berbagai pasaran dipaparan Pasifik. Jaringan niaga Laut Sulawesi di Asia-Timur dan rintisan jalur niaga Pasifik yang menghubungkan kawasan ini dengan daratan benua Amerika oleh Spanyol praktis tertutup. Semua komiditi ekspor ekonomi penduduk Sulawesi-Utara dikendalikan melulu dari Batavia diciptakan sejak zaman VOC dilanjutkan oleh pemerintahan Hindia-Belanda sebagai penguasa tunggal terhadap imperium kolonial terbesarnya di Asia-Tenggara.
Namun tekanan ini menimbulkan motivasi tersendiri bagi masyarakat Minahasa mempertahankan eksistensi keberadaannya dengan pengembangan diplomasi seperti yang dilakukan para Walak Minahasa dalam cara menghadapi kolonialisme Barat.
Terlepas dari penderitaan yang dialami Minahasa dari penjajahan baik Spanyol maupun Portugis, namun hikmah dari kolonialisme Eropa hingga Minahasa mengenal pengetahuan westernisasi. Pengetahuan ini dijadikan sebagai senjata penangkal terhadap penetrasi kolonialisme Barat dengan menggunakan pengetahuan Barat.
Bermulanya Pertentangan VOC Dengan Pemerintah Belanda
Ternyata penyakit lomba monopoli menjadi penyebab hingga dampak dari perang 80 tahun di Eropa-Utara oleh rumpun Hispanik berkembang di Asia-Timur dan Tenggara dan masing-masing saling berlaga lomba adu pengaruh. Walau satu benua, tetapi masing-masing memiliki persepsi saling berbeda agama. Pengaruh reformasi agama di Eropa-Utara hingga perbedaan dengan Eropa-Selatan turut berperan. Hal ini terlihat dari gaya terapan kolonialisme "Pax Europeana" dikawasan ini, yang mana masing-masing memiliki caranya sendiri. Begitu pula dalam pengembangan unsur agama dan penyebaran Kristenisasi diberbagai koloni. Koloni-koloni Spanyol dan Portugis dialiri pengembangan Jesuitisme, sedangkan Belanda dan Jerman mengembangkan Protestantisme.
Di Minahasa mulanya berkembang Katolik pada era [1]Conquistadores‚ antara Spanyol dan Portugis yang pernah membagi peta bumi dalam dua bagian dan memperoleh titik temunya di perairan Halmahera. Kekalahan Spanyol dan Portugis dari Belanda digugusan nusantara (kecuali Filipina dan kepulauan Nusa Tenggara-Timur dan Timor-Timur) dan Pasifik Barat-Daya (penyerahan Irian dari Spanyol kepada Jerman) posisi geografi kolonialisme Eropa mengalami perubahan sejak abad ke-19. Asia-Tenggara, Laut Sulawesi, Maluku hingga Pasifik Barat-Daya bebas dari kolonialisme Spanyol dikuasai Belanda, Amerika-Serikat dan Jerman (hingga 1918).
Mulanya VOC menghendaki gugusan Nusantara melulu menjadi garapan ekonomi sesuai fungsi dari [1]Hak Oktroi‚ yang diperolehnya ketika lembaga ini didirikan pada tahun 1602 melalui persetujuan Staten-General.‚ VOC langsung berada dibawah pengawasan dari ‘Heren Zeventien,’ yang menempatkan wakil dari masing-masing provinsi di Belanda menanam modal terwujudnya usaha dagang sekaligus penunjang ekonomi di negeri Belanda yang dibentuk awal abad ke-17 di Amsterdam. Namun pertentangan berkembang ketika ‘Staten-General‚’ yang merupakan lembaga eksekutif tertinggi Belanda pada 1617 memutuskan melakukan pengembangan Kristenisasi diberbagai wilayah yang dikuasai VOC. Hal ini dilakukan guna mengimbangi Spanyol dan Portugis yang ketika itu mengembangkan agama Katolik diberbagai koloninya di Asia-Timur hingga Pasifik. Pengembangan agama dilakukan dengan dibangunnya berbagai sarana pendidikan Kristen dan gereja. Hadirnya pengembangan agama Kristen yang dikehendaki oleh pihak Staten-General tidak disenangi VOC yang ternyata memiliki persepsi sendiri dalam cara mengembangkan kekuasaannya terhadap imperium terbesarnya digugusan kepulauan nusantara.