Sejarah Minahasa


Diwilayah yang menggunakan sistem pemerintahan demokrasi kemudian berkembang menjadi tiga wilayah otonom yang disebut Tountemboan berpusat di Toumpaso, Tounsea berpusat di Niaranan, Toumbulu berpusat di .

Kemudian sekitar abad 13 Masehi sekitar tahun 1200an dijawa muncul kerajaan Singosari dibawah pemerintahan Kertanegara kerajaan ini menjadi berkuasa diseluruh pulau Jawa sehingga menguasai perdagangan. Dimasa yang sama di Cina Kaisar Kubilai Khan sedangkan memperluas pengaruhnya ke segala penjuru, mereka menarik upeti bagi kerajaan-kerajaan didaerah perdagangan internasional. Utusan Kubilai Khan dibunuh oleh raja Kertanegara, hal ini menimbulkan amarah kaisar maka dikirimlah pasukan armada untuk menghukum Singosari. Kerajaan Singosari hancur dan pasukan Kubilai Khan kembali melewati selat Sulawesi. Diwilayah Singosari Raden Wijaya membangun kerajaan berpusat di Majapahit. Dimasa pemerintahan Raja Hayam Wuruk ia mengangkat Panglima Perang Gajah Mada menjadi Mahapatih yang kemudian melaksanakan ekspansi Sumpah Palapa. Sekitar tahun 1365 armada Majapahit menyerang kerajaan kerajaan di kepulauan utara Sulawesi diantaranya Mindanao dan menjadikan kerajaan Makatara sebagai sekutunya.
Pasukan maritim kerajaan menghindar dari kekuasaan Majapahit mereka masuk kesebelah utara Sulawesi di tanjung Pulisan. Kemudian terus masuk lebih kedalam lagi tapi tidak mendapat persetujuan republik perserikatan setempat. Kemudian atas ijin Pemimpin Besar Tounsea maka mereka dapat mendiami perairan muara danau, itu sebabnya kelompok ini disebut Toundanou/ TouLour. Mereka bermukim membangun rumah perkampungan diatas air. Dikemudian hari akhirnya suku ini mendapat pengakuan dari ketiga negara serikat sehingga masuk sebagai anggota perserikatan yang disebut Minaesa.


Sekitar tahun 1375 dari Tombulu sekitar gunung Lokon turun satu pasukan dipimpin seorang pahlawan yang bergelar Lokonwanua, ia membangun armada laut bermarkas di pulau Manadotua. Pemerintahannya kemudian meluas pengaruhnya ke Siau Sangihe, Bolaang Mongondow, Tomini/Gorontalo. Saat itu di BolaangMongondow memerintah seorang raja keturunan Mokoduludug bernama Raja Damopolii dengan pusat pemerintahannya di Kotamobagu.


Baca selengkapnya dalam buku sejarah Minahasa dan Sulawesi Utara oleh DDS.Lumoindong

Figur Pemimpin Sulawesi Utara sebaiknya ?

Sejarah Minahasa

Sejarah Umum Minahasa :

Sejarah Minahasa dibagi dalam empat babakan yaitu : zaman pra malesung, malesung, Minaesa, dan Minahasa. Periodisasi ini berdasarkan peristiwa sejarah yang penting yaitu pada sekitar tahun 700M yatu peristiwa watu tumotowa.Dalam peristiwa watu tomotowa wilayah Minahasa di bagi menjadi emapt wilayah yang disebut puak. Ada emapt puak utama yaitu : Puak Toumuung, Tonsea, Toulour, dan Tontemboan dengan demikian watu tumotowa memilki arti batu pembagian yang wilayah bagi orang minahasa. Peristiwa watu tumotowa memilki arti penting karena merupakan awal dari berdirinya Minahasa Raya yang disebut deklarasi MAESA I. Pada sekitar tahun 1428 terjadi peristiwa penting lagi yaitu peristiwa MAESA II dimana dijadikan dasar dari hari ulang tahun Minahasa, dalam peristiwa tersebut jumlah puak dari anak bangsa Minahasa bertmbah lima yaitu : puak Tousingin, Wangko, Ponosakan, Bantik dan Babontehu. Dalam perjalanan sejarahnya terjadi beberapa kali perubahan diantaranya terjadi fusi antara puak Bantik dan Babontaho menjadi satu lalu dengan demikian mulailah dikenal 7 sub etnis Minahasa.

Asal Suku bangsa Minahasa :

Berdasarkan pendapat para ahli diantaranya A.L.C Baekman dan M.B Van Der Jack yaitu berasal dari ras Mongolscheplooi yang sama dengan Bangsa Jepang. Kesamaan dengan bangsa Jepang ialah memiki lipit Mongolia.





Oleh: Boeang Dotulong

Setelah terjadi pembagian bahasa serta penetapan religi/posan/pelii di "Tu'ur in Tana' (pusat- , dasar-bumi) nama ini diganti dengan "Watu Pinawètèngan" (batu di mana telah diadakan pembagian).

Selang rapat pembagian berjalan, didirikan 4 buah pondok, yaitu:
1. Arah Baratdaya untuk suku Tountèmboan = orang yang memiliki peti-pusaka;
2. Arah Baratlaut untuk suku Toumbulu' = orang yang berdiam di gunung;
3. Arah Timurlaut untuk suku Tounsèa = orang yang berdiam ditempat punuh tumbuhan sèa (Monochoria Tinctoria Roxb.);
4. Arah Tenggara untuk suku Tountumaratas = orang yang telah memutuskan; kata asal “ta'tas” = tebang, putus.
.
Dengan dilengkapi tanda pengenal (posan) masing-masing, berangkatlah keempat suku tersebut ke arah yang telah ditentukan, yaitu berdasarkan letak pondok masing-masing. Sebermula terbagi dalam kelompok2 kecil.

Suku Toudano pada saat terjadi pembagian, disebut Tourikeran(2) adakalanya Tounsendangan = orang dari Timur, yang jauh sebelumnya datang dari Tumaratas(3)
Dalam pembagian di mana suku Toundano dengan nama Tountumaratas, ditetapkan tempat menetap adalah di arah Tenggara dengan dibekali tanda pengenal (Posan) berupa tiga-potong bulu (2 dipotong rata, sebuah miring).

Rombongan pertama suku Toundano terdiri dari:
1. Kauner (Toulian) menetap di pulau-kecil yang terletak antara dua ujung sungai, Timur dan Barat.
2. Temberan (Toulumambot) pada bagian lurus sebelah Timur sungai, menghadap pulau tersebut.
3. Kinakas (Kakas) = dicakar; menempati bagian Selatan danau.
4. Rinembok (Remboken) = bunyi dengkur, menempati bgn Barat danau.

Rombongan kedua masih menetap di Tumaratas, rombongan ini kemudian membagikan diri dalam dua kelompok. Satu kelompok berangkat menuju tempat yang telah ditetapkan (Tenggara) di bawah pimpinan Tiwatu, Rumawei, Welong, Timbeler dan Tumangkar yang secara berurut telah mendirikan negeri-negeri Ro'ong-Wangko', Ro'ong-Oki', Samberong, Toumasem dan Pakasingen.

Kelompok yang lain dengan berakit dari negeri Atep (di laut Maluku) berlayar menuju Tenggara, tapi ketika akan menyeberangi Selat Upus/Kora-kora, badai mengamuk sehingga alat berlayar yang serba primitif terbawa hanyut sampai ke Tidore di Ternate, di mana sebelumnya telah hadir kelompok Lewu Singal.

Selang beberapa waktu mereka mulai berupaya untuk kembali ke tanah Malesung (Minaesa) dan mendarat di Batu Putih dekat Tanjung Pulisan. Di tempat itu mereka membangun dua buah negeri dengan nama masing-masing Lumian dan Lumambot. Letak kedua negeri ini dekat pantai, sehingga ketika terjadi anging topan kedua negeri ini hancur.

Maka perjalanan dilanjutkan menuju pedalaman sampai tiba di perkampungan Pakasingen (lihat di atas) yang telah didirikan oleh Tumangkar dengan tanda pengenal serupa. Sayang ditempat ini mereka tidak "welkom".

Apa yang akan tercantum di bawah ini adalah "cerita peninggalan" dari Sdr. Kilapong yang bermukim di negeri/kampung TUTU' (Tondano) dan dari ibunda penyusun silsilah ini, demikian bunyinya:
"...leluhur dotu Eurungan bersama suku-kerabat setelah tiba pada bagian Walak Tounsea mendaki Gunung Tamporok (Gunung Kalabat). Setiba di puncak gunung tertampak di kejauhan arah Selatan, terbentang dataran keabu-abuan yang menyerupai kain taplak terbentang lebar; ternyata adalah sebuat danau. Maka ditentukan utk menetap di sana. Sesuai keputusan bersama, berangkatlah mereka..."

Setibanya mereka ditempat itu mereka membangun rumah-rumah di atas rakit dan dengan demikian berdiam di atas air. Oleh keadaan pemukiman seperti ini, mereka di sebut Tou Mayuren(1) = manusia berapung (KD "ayur"= terapung). Sebagai pemimpin adalah dotu Eurungan. Walak ini lahir sekitar tahun 1500. Mereka pun bergabung dengan Kauner & Temberan yang memiliki tanda pengenal serupa.

Sekitar tahun 1550 mereka mulai mendiami bagian daratan dan mendirikan lima buah perkampungan(5), yaitu:
1. Toukuramber dipimpin oleh Tona'as Longkia;
2. Tutu dipimpin oleh Tona'as Kawengian;
3. Wanua Uru dipimpin oleh Tona'as Nelwan;
4. Werot dipimpin oleh Tona'as Mononimbar;
5. Wanga dipimpin oleh Tona'as Rakian.

Selang sepuluh tahun berikut mereka terlanda rupa-rupa malapetaka, berupa wabah cacar yang menelan sebagian besar dari penduduk. Kemudian kegagalan panen selama 4 atau 5 tahun. Maka di ambil keputusan untuk membangun negeri yang baru pada bagian Utara tepi danau.
Rumah-rumah dibangun di atas balok-balok dan kembali mereka mendiami tempat di atas air.
Dengan terkumpulnya kelima kampung tersebut maka lahirlah saat itu satu
grup suku sebagai walak dengan bimbingan yang tertua sebagai kapala Walak, Dotu Erungan, dari Walak-Tondano.

Suku Tountèmboan menyebut mereka "Toundano" (= orang-orang yang
berdiam di air) (6)
Sedangkan Suku Tounsèa & Toumbulu' menyebutnya "Toulour" (= orang-
orang yang berdiam di danau).

Sebermula telah tertulis bahwa penduduk Touliang & Toulumambot berasal dari suku-induk Toutumaratas. Di sini perlu diterangkan bagaimana sampai nama-nama tersebut terlahir.
Kauner artinya terlampau ke tengah (ditengah-tengah sekali).
Mereka pergi mendiami pulau kecil-berawa, terletak antara dua buah mulut sungai yang kemudian bergabung dan mengalir menjadi satu. Dengan demikian terlahir nama sebutan "di tengah sekali, di kelilinga air." Tempat ini suka disebut juga Minawanua artinya "bekas perkampungan"; dan setelah perang ketiga (terakhir) antara suku Tondano vs. Belanda, tempat ini suka disebut juga Moraya (kata peninggalan orang Spanyol "muralla" = benteng pertahanan).

Temberan artinya sungai besar(7). Mereka pergi mendiami sisi mulut sungai sebelah Timur dari Pulau yang didiami rombongan "Kauner."

Toulian artinya orang-orang yang mendiami bagian lengkung. Nama ini terlahir karena tempat kediaman mereka terletak pada bagian lengkung danau di sebelah Barat-Laut. Di kemudian hari pada akhir nama ini dibubuhi abjad "g" dan menjadi Touliang.

Toulumambot artinya orang-orang yang mendiami bagian lurus/memanjang. Mereka membangun perkampungan pada perpanjangan/lurus sebelah Utara danau; kata dasar "Lambot" = panjang. Sekarang mereka bernama Toulimambot.



(1) a. "Historische Verhalen...", hlm 265,266; oleh J.E. Jasper.
b. "De Minahasa in 1825", hlm 466,467,553,554,dst; oleh J.G.F. Riedel.
c. "Tijdschrift voor Indische Taal, Land- en Volkenkunde" deel XX, th 1873 ("Oud Tondano", hlm 364; oleh L. Mangindaan).
(2) Tourikeran artinya "dikelilingi orang-orang" dengan kata lain "banyak rakyat" kata dasar "riker" = bentuk lingkaran.
(3) Tumaratas terletak sekitar negeri KANONANG yang sekarang sebelum
negeri Pinabetengan.
(4) dari "Historische Verhalen ..." oleh J.E. Jasper; hl 266.
(5) dari "Oud Tondano" oleh L. Mangindaan; hl 364 (dalam "Tijdschrift Voor Taal, Land- en Volkenkunde).
(6) lihat juga keterangan F.S. Watuseke "Salangkew een Mythische Vogel
uit Tondano"; dalam BKI, hl 113, 343, 344; th 1957.
(7) dari "En Tinateran en Lelila'an Walanda-Toundano", hl 166; oleh F.S. Watuseke.